Geming

Laki-laki tegap itu sudah pergi dengan mobil perak bersama supir taksi online yang ramah. Jejaknya masih tertinggal meskipun suaranya tidak lagi bisa didengar. Lalu, sekawanan angin datang membisikkan rindu dari laki-laki yang belum jauh pergi itu.  Bersama gumpalan awan gelap yang mendekat, keduanya menggelayut menemani kesedihan ibu dan tiga anak yang baru saja ditinggal orang yang mereka sayangi. Gerimis pun turun menambahi airmata yang telah jatuh, disambut punggung-punggung tangan yang mencoba menghapusnya lagi dan lagi.


Hari itu hari yang tidak mungkin bisa dilupakan. Hari dimana pendidikan rumah tetap berjalan dengan atau tanpa kepala sekolah yang sedia mengisi daftar hadir setiap hari. Entah untuk berapa lama, bisa satu sampai tiga bulan, itupun kalau berdasarkan rencana dalam rumah tangga. Semua bisa jadi lebih lama bahkan mungkin amat sangat lama.


Hari itu hanya tersisa seorang guru yang menguatkan diri agar tulang punggungnya tegak dan senyumnya bisa terus mengembang. Dia ibu beranak tiga— laki-laki seluruhnya—usianya ada di pertengahan 33 tahun. 


Pernikahannya memperoleh anak-anak dengan jarak usia tidak sampai dua tahun. Anak tertua mendekati delapan tahun sebentar lagi, sedang yang bungsu baru saja merayakan miladnya yang kelima tahun. Hitung saja berapa usia si anak tengah, jika hanya berbeda 19 bulan dengan si bungsu, tentu anak tengah memiliki jarak usia yang rapat dengan abangnya.


Wangi bekas hujan selepas ashar menerobos masuk ke rumah bercat hijau muda itu. Menyelip melalui pagar merah kecokelatan yang masih seumur jagung, persis saat ketiga anak laki-laki Win sedang mendengarkan cerita dari buku yang baru. Dinginnya sore tidak memudarkan beberapa kegembiraan yang sudah lama jadi. Tentu saja si ibu beranak tigalah yang berjuang agar semuanya bisa berlangsung lama. Ibarat pepatah, ala bisa karena biasa, hanya soal waktu saja. Relatif jangkanya. 


Namanya Win, dan orang-orang lebih sering menyapanya dengan nama anak pertama di belakangnya, seperti orang-orang arab menggelari seseorang dengan nama kunyahnya. 


Sore itu, dia berharap ibu penjual mie kuah siram akan lewat dengan motor tuanya. Singgah di depan rumah dan memanggil mereka dengan suara cempreng yang khas. Benar kata orang tua dulu-dulu, hujan di waktu sore kadang tidak hanya membawa rahmat yang banyak, kadang-kadang juga membawa lapar yang tidak sedikit. Win terlalu sedih hingga lauk sore itu tidak jadi dimasak dan masuk kembali ke dalam lemari pendingin.


Win keluar dari pintu samping tanpa payung ketika suara penjual mie datang mendekat. Dia memesan empat porsi lima ribuan. Di rumah itu hanya tinggal mereka berempat sekarang, seorang lagi sudah pergi dengan mobil perak tadi siang. Suaminya.


Anak-anak bersuka cita begitu melihat ibu mereka memberi jajan di saat yang mereka inginkan, itu mie favorit sejak empat bulan terakhir,  sejak rumah itu baru saja ditinggali. Mereka orang baru di antara penduduk yang masih asing. Mereka juga orang yang baru saja membiarkan seorang ayah pergi memulai episode merantau ke tanah di depan selat Malaka. Kota yang berhadap muka dengan Singapura.


Puas menyantap mie kuah siram, waktu mandi pun tiba. Ibu beranak tiga itu mengurusi ketiga putranya seorang diri. Tidak ada lagi suaminya hari ini, mungkin akan seperti itu sampai dia benar-benar tidak tahan. Tidak ada yang tahu. 


Dia sedang menguat-nguatkan diri di saat waktu tidak bisa diminta kembali agar suaminya tidak jadi pergi. Saat semuanya dikerjakan berdua, saling membantu dan mengajar anak-anak mengurus dirinya sendiri. 


Win membantu si bungsu mandi, anak itu menyisakan kemarahan karena di tinggal sang Ayah bekerja jauh di kota tempat museum Raja Ali Haji berdiri. Museum yang menyimpan peninggalan gurindam dua belas yang terkenal. 


"Ummi, jam berapa Abi pulang?" tanyanya penasaran.


Si sulung tiba-tiba datang menghampiri saat adiknya baru akan dibantu memilihkan baju. Anak tertua dengan kaus hijau muda yang baru saja dikenakan itu mendekat. Wajahnya penuh rasa ingin tahu dan berharap mendapat jawaban atas pertanyaan sang adik.


"Ah, memang tidak mudah mengatakan yang sesungguhnya." Pikir Win.


"Tidak pulang, Nak. Abi menginap."


"Jadi? Tidak pulang?"


"Seperti yang Ummi bilang tiga hari lalu, Abi akan lama sekali tidak pulang."


"Loh, koq?"


"Ya, tapi jangan khawatir, ini hanya sebentar, nanti Abi akan kembali menjemput kita."


"Kemana?"


"Pindah ke kota yang banyak tepi pantainya dan penuh jalanan berbukit."


"Jauh?"


"Ya, lebih jauh dari biasanya. Kita akan pergi dengan pesawat."


Mata si anak laki-laki tertua berbinar, adiknya yang mendengarkan langsung tersenyum lebar. Terlihat matanya yang membulat takjub. Wah. Isi kepala mereka mungkin sudah membayangkan sebuah perjalanan menggunakan burung besi yang terbang di udara dan menabrak awan.


Sayangnya, tidak ada satupun dari mereka yang tahu, bahwa bencana wabah menguntit rencana itu, dan akan menunda perjalanan mereka semakin hari semakin lama. Harus menunggu sebanyak delapan kali bulan membulat di peraduannya, barulah jemputan sang ayah tiba. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukan Seperti yang Kamu Pikir

Sabun Cuci Muka Berjerawat

Sabun Ummuzaid