menjadi ibu itu...

Menikah di usia tidak muda, tidak juga terlalu tua, pas (dalam versi saya) dan memilih meninggalkan pekerjaan sebagai staf akademik di sebuah sekolah tinggi di kota Medan,  adalah keputusan penting dalam hidup saya.

Keputusan yang melahirkan begitu banyak hal baru dan menguras energi yang tidak sedikit.  Mulai dari isu yang jumlahnya kian menggendut setiap hari seputar "koq nikah buru-buru?", atau "suaminya batak masuk islam kali", atau "sarjana koq milih nganggur", sampai kini saya menjadi ibu tiga balita, laki-laki semua,  yang usianya "susun paku" istilah untuk jarak usia anak yang rapat-rapat,  bahkan sampai tema cibiran sehari-hari yang katanya mirip babu.

 "Zaman dulu az yu yang model kayak kau ni,  ga pake KB". Ini kalimat paling rame sampai ke telinga saya.

"Nambah umat bu,  seenggaknya saya bisa memenuhi kebahagiaan Rasulullah yang menyukai keluarga yang beranak banyak." Itu jawaban sederhana saya karena repot kalau harus ditanggapi satu persatu.  Dan biasanya jawaban begini menghentikan pembicaraan.

Awalnya banyak yang mencibir hingga kini pun masih banyak yang mengejek di belakang. Walau akhirnya banyak juga yang menyanjung.  Begitulah hidup saya pikir,  tidak semua orang bisa disenangkan dengan pekerjaan kita. Yang penting saya siap menjalani tugas sebagai istri dan ibu,  pun selagi suami saya mensuport itu sudah cukup bagi saya.

Meninggalkan pekerjaan dulu saja,  saya siap dihadiahi banyak cemooh.  Saya baik-baik  saja.  Tidak sulit untuk menghadapi banyak kalangan kerabat,  teman dan tetangga yang ikut andil dalam menyudutkan dan menghakimi keputusan saya. Karena Allah jauh lebih saya takuti dari pada semua yang tak sedap ini.

Toh ada dua tangan untuk menutup telinga.  Ada hati yang siap memaafkan.  Ada banyak pikiran jernih dan selalu ada solusi bersama masalah.  Meski memang saya tidak selalu berhasil,  setidaknya hari ini saya tak lagi bimbang dalam menjalani peran bersama suami kini.

Dari awal khitbah, suami memang meminta saya menjadi ibu sesuai fitrahnya. Di rumah. Begitu pun saya.  Pekerjaan menjadi ibu adalah profesi saya,  menjadi kegemaran saya meski dengan profesi ini saya harus didera banyak masalah komitmen,  konsekuensi dan konsistensi yang maju mundur dalam pengasuhan anak.

Berkali-kali jatuh dan mencoba bangkit menjadi ibu yang diharapkan anak-anak, menjadi teladan,  ibu yang tegas dan santun,  yang baik akhlaknya,  yang 'alim orangnya,  yang mulia perangainya.  Saya harus tunggang langgang mengejar dan memperbaiki diri.  Mengakui betapa saya ini sungguh hamba yang dhaif. Betapa Allah masih selalu menunjuki jalan terang ini.  Hingga saya dan suami berani memutuskan untuk memilih jalur homeschooling bagi buah hati kami.

Memutuskan menjadi homeshcooler pun kian menguatkan langkah saya menjadi ibu sekaligus madrasah bagi anak-anak. Dengan suami sebagai suport sistem utama kami di rumah,  lalu tidak menitipkan anak pada sekolah formal adalah solusi bagi anak-anak kami memiliki kecerdasan gerak (kinestetik) pada masa awal perkembangannya.

Memang mereka masih balita,  namun masa emas ini adalah pondasi utama menanamkan nilai-nilai keilahian, ketakwaan serta akhlak yang sesuai tuntunan syariah.  Kami muslim,  maka menjadi keluarga muslim adalah khas kami.  Syariat yang mengatur bukan pikiran dan hati yang cenderung suka melampaui batas. Inilah yang utama menjadi PR saya sebagai ibu mereka.

Kelak kesulitan ini akan berbuah manis saya yakin.  Nanti profesi ini bernilai jannah di sisi robb kami,  Allah ala wa jalla.  Meski saya dhoif untuk urusan pendidikan anak,  ada Allah yang mengasihani saya sebagai hamba yang membutuhkan pertolongan.

Dan kini Allah bersamai langkah kami dengan orang-orang yang khusuk dalam dunia parenting dan ramah ilmu seputar pengasuhan anak.  Mereka membantu banyak sekali.  Informasi yang kami butuhkan senantiasa Allah beri.  Maka apalagi tugas saya selain menjaga semangat dan istiqomah dengan cita-cita ini.  Sisanya biarlah zikir ini la haula wa la kuwata illa billah.  Tiada tempat bagi saya jika bukan Allah yang kasihan.

Segini dulu,  semoga berkah dan menabung manfaat di yaumil akhir.

Ummu zaid.










Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukan Seperti yang Kamu Pikir

Sabun Cuci Muka Berjerawat

Sabun Ummuzaid