Pekerjaan Kita

Saya Ummu Zaid. Ibu beranak tiga dengan usia yang hampir menyenggol angka double tiga.

Saya hanya perempuan yang mewaqafkan diri untuk hidup menjalani fitrah yang Allah anugerahkan pada tubuh seberat 49kg ini. Takdir saya sekarang menjadi istri, ibu, menantu dan ipar, menyusul kemudian menjadi mertua dan nenek. Saya menyukai status tersebab kawin ini, karena terlalu berniat untuk menjadi ibu rumah tangga yang profesional, sampai saya berhenti bekerja sejak di khitbah suami dulu.

Bukan apa-apa. Permintaan calon suami waktu itu tidak pantas di tolak, mengingat landasan penyampaiannya pun syar'i. Niatnya baik karena itu bagian dari berbagi tugas dalam rumah tangga. Saya ridho, bukan terpaksa atau luluh karena cinta mula-mula pada manusia. Nggak 100% memang ada sedikit saja karena simpatinya perempuan yang jomblo berabad-abad.

Saya tidak gegabah untuk memilih langsung resign, saya pikir betul-betul aturan main dalam sejatinya berumah tangga. Saya tidak mau ada penyesalan kemudian hari. Kalau saya memilih berhenti bekerja itu harus karena Allah, karena pilihan tersebut adalah keputusan saya tersebab ingin mentaati suami dalam rangka mentaati Allah. Ini bagian dari profesionalisme ketika mencintai tugas-tugas kekhalifahan yang Allah titipkan pada saya.

Suami demikian baik, tidak langsung memaksa, tidak rewel, tapi terus menyampaikan harapan-harapannya yang indah, berikut dengan efek kemudian hari yang mesti kami tanggung berdua.

Menurut saya, merujuk pada pengalaman memahami dunia pernikahan, melalui berbagai majelis ilmu yang pernah saya hadiri, berdasarkan Al-Quran surat Al-Ahzab: 33 serta berbagai hadist yang saya dapati, alurnya begini; jika suami pergi bekerja, maka istri bertugas menjaga diri, anak-anak dan hartanya di rumah, karena dia (suami) adalah pemimpin perempuan, sedang perempuan adalah pemimpin anggota keluarganya (anak-anak mereka). Ini adalah koordinasi yang diajarkan nabi dalam menjalani pernikahan.

Juga, bahwa laki-laki tugas utamanya adalah mencari nafkah, sedang istri menetap di rumahnya, menjadi teman dalam suka duka. Kalau kemudian terbalik, tentu karena alasan urgent dan kasus-kasus istimewa yang berbeda dari biasanya. Dan bila istri membantu suami mencari nafkah, alasan dan tujuan ini bukan semata-mata untuk mengumpulkan harta, tetapi demi kemaslahatan yang tidak akan mengurangi pahala kita dalam menjalani. Jadi mesti terjalin komunikasi yang apik agar berbagai kondisi tetap berada dalam kontrol bersama.

Ibu yang bekerja atau tidak, baik yang memperoleh penghasilan dari rumahnya atau tidak, atau perempuan yang hanya mendapatkan pemasukan dari suaminya saja, itu adalah pilihan yang disepakati bersama antara suami istri, lengkap dengan segala konsekuensi yang juga ditanggung berdua, bahwa hal itu tidak ada mudharatnya bagi rumahtangga. Maka sah-sah saja, selama (mohon dicatat) tidak ada yang melalaikan tanggung jawab utamanya.

Kalau yang saya alami, yakni dibersamai oleh laki-laki yang sejak datang melamar, dengan segala ketegasan dan kewibawaannya, mengharapkan istri yang bisa stay di rumahnya, bukan mengharapkan istri yang bekerja di luar rumah, tentu merupakan kisah yang berbeda dengan perempuan yang diizinkan bekerja oleh suaminya. Saat-saat saya berhadapan dengan calon suami dulu, dia bukanlah laki-laki yang pantas untuk ditolak ketika menyampaikan harapannya itu. Maka sudah menjadi konsekuensi logis bagi saya ketika sampai hari ini hidup saya penuh di dalam rumah. Soal saya bosan dan emoh, itu lain cerita kan?

Saya kagum dengan niatan suami waktu meminang saya dulu. Katanya, "Saya butuh teman hidup, bukan teman cari duit. Saya butuh istri tapi bukan istri kantoran. Saya butuh ibunya anak-anak yang mengasuh dan mendidik mereka di rumah, bukan ibunya yang punya penghasilan sendiri. Saya usahakan memenuhi kebutuhan wajib yang mesti saya adakan, saya akan memfasilitasi apapun yang jadi kebutuhan kita, saya usahakan untuk memenuhi apa yang kamu mau. Jadi bisa kan kalau kamu tidak bekerja?”

Saya tidak bisa menolak, karena nyatanya saya pun memang berniat tidak lagi bekerja jika Allah mentakdirkan saya menikah. Jadi kami seperti pepatah lama itu, "asam di gunung garam di laut, bertemu dalam kuali". Cocok.

Keputusan ini rupanya memang tak main-main. Ternyata, tidak berkutat pada rupiah dan kertas-kertas itu, tak lantas membuat urusan saya jadi mudah. Saya merasa demikian diuji Allah pada pekerjaan rumah tangga. Ketika para ibu bekerja di kantor, maka ibu rumah tangga juga bekerja di rumahnya. Karena itulah saya acungkan jempol pada ibu yang bekerja di kantor dan di rumahnya.

Urusan domestik yang menyangkut dapur, sumur dan kasur itu sama peliknya dengan urusan kantor dari meja ke meja, walau memang berbeda kasus. Dia tetap mengandung resiko tinggi memicu stress dan lelah.

Seperti saya, kalau tidak ada anak balita mungkin rumah bisa kinclong, tapi sekarang tiga anak laki-laki kami, bisa diperkirakan donk cetarnya gimana? Menyapu lantai tidak mungkin cukup hanya pagi dan petang. Mengepel juga pasti akan berkali-kali. Apalagi kalau berganti pakaian, pun tidak mungkin hanya dua kali sehari seperti mandi. Balita bisa lebih banyak menggunakan kamar mandi karena urusannya memang suka main air dan mandi keringat.

Saya juga mengalami apa yang diistilahkan ibu-ibu zaman sekarang dengan 'rempong' itu. Betapa tugas negara mengurusi seisi rumah berikut orang-orang yang tinggal didalamnya, bukan hal yang gampang. Maka saya salut sekali ada ibu bekerja yang punya tenaga super power bisa mengatasi hal ini sendiri dan berhasil. Mereka jagoan.

Saya langganan Asisten Rumah Tangga (ART) dulu. Dari yang menginap, datang pagi pulang sore, sampai yang datang seminggu tiga kali atau sebulan empat kali juga pernah.
Saya tahu enjoynya dibantu orang. Dan juga merasai betapa punya ART tidak melulu membantu saya setiap waktu, sebab anak-anak juga tak bisa lekang dari ibunya. Saat saya harus mandi dan berganti pakaian, masih juga pontang panting diburu tangisan dan rengekan di depan pintu. Saya mengalami banyak drama pekerjaan rumah tangga sejak anak kedua kami lahir. Untuk menjawab telepon dan keramas pun tidak bisa lama-lama.

Tapi, sejak kisah luar biasa itu saya baca, saya jadi berpikir lebih jernih. Sebuah siroh yang menyentuh sekali. Karenanya saya jadi berhenti mengeluh dan merapikan sistem kerja yang sudah semraut minta ampun.

Suatu hari Fatimah Az-Zahra ra., putri Rasulullah datang mencurahkan isi hatinya kepada sang ayah melalui ummahatul mukminin, Aisyah ra. Ia menyoal pada apa yang menyebabkan kulit tangannya pecah-pecah dan mengelupas, serta tubuh kurusnya yang lelah.

Fatimah ra., rupanya juga mengalami hal yang sama dengan sejumlah perempuan berstatus istri dan ibu di muka bumi ini. Ya, segala rentetan aktivitas harian yang menjadi bagian dari setiap rumah. Pekerjaan rumah tangga.

Waktu itu kejadiannya, qodarullah, sang ayah mendapatkan seorang budak perempuan. Lalu Fatimah ra., berpesan pada Aisyah ra., tentang keinginannya mendapatkan pembantu di rumahnya. Maka Aisyah pun menyampaikannya kepada sang suami.

Apa reaksi Rasulullah?

Beliau mendatangi putrinya, dan berkata dengan perasaan haru. “Maukah kalian kuberi tahu sesuatu yang lebih baik dari yang kamu minta? Bila hendak naik pembaringan, maka bertakbirlah 33 kali, bertasbihlah 33 kali, dan bertahmidlah 33 kali. Semuanya itu lebih baik daripada seorang pembantu.”

Sejak saat itu, Fatimah ra., bersama sang suami mengamalkan dzikir tersebut hingga akhir hayat. Tak pernah lagi beliau meminta pembantu atau mengeluhkan lelah yang menderanya. Bisa saja sebagai putri Rasulullah, Fatimah bersikeras meminta pelayan. Lalu budak manakah yang mau menolak permintaan Rasulullah? Sedang yang ingin membantu saja mungkin akan banyak yang mengantri.

Alih-alih minta pembantu, Fatimah ra., lebih memilih pro-aktif terhadap takdir dan tugasnya, daripada ngotot meminta pembantu dan mengeluhkan soal dirinya serta segala kepayahan yang dialaminya.

Saya belajar hal luar biasa dari Fatimah ra. Mari kita lihat latar belakangnya. Ayahnya adalah makhluk Allah SWT yang terbaik, Muhammad bin Abdullah. Ibunya adalah Ummul Mukminin, Khadijah binti Khuwailid; salah satu dari empat wanita penghulu surga. Suaminya adalah Ali bin Abi Thalib ra; salah satu dari sepuluh orang Amirul Mukminin yang dijanjikan masuk surga. Dua putranya adalah pemuka pemuda-pemudi surga yakni Hasan ra dan Husain ra,. Pamannya adalah pemuka para syuhada bergelar singa Allah dan Rasul-Nya; Hamzah bin Abdul Muttalib ra.

Fatimah sendiri bergelar az Zahra sebab wajahnya senantiasa cerah bak sekuntum bunga. Kunyah-nya adalah Ummu Abiha sebab ia begitu mirip dengan sang ayah; Rasulullah SAW.

Perempuan mulia yang lahir dari manusia mulia ini tidak merengek meminta asisten pribadi, tidak merengek karena kulit dan pakaiannya yang sobek. Tiket surga yang dimilikinya tidak membuatnya mau menjalani hidup serba bermudah-mudah dengan bantuan orang lain. Dalam pikiran saya, Fatimah ra., pastilah memiliki cara-cara yang luar biasa ketika menjalani perannya sebagai istri dan ibu ketika semasa hidup.

Kalau boleh saya memetik hikmah dari kisahnya, menempatkan Ridho Allah dan Rasul-Nya sebagai motivasi pertama, itulah yang utama. Kalau sudah ridho, terseok-seok pun tak soal. Jalan tertatih dan kulit pecah-pecah itu, tentu bukan masalah besar. Asalkan Allah dan Rasul-Nya ridho, itu sudah mencukupi segalanya.

Lalu, yang menjadi persoalan adalah bagaimana menjemput ridho-Nya tanpa mengeluh dan mengandalkan bantuan orang lain.

Sejak melahirkan anak pertama dan membaca kisah tadi, saya merasa seperti ditampar. Lah saya, tidak punya tiket kontan masuk surga, bukan siapa-siapa, cuma ibu baru beranak satu dengan pekerjaan rumah belum segambreng, sudah lebay menggunakan jasa ART. Bagaimana mungkin saya tidak malu membaca kisah ini.

Saya tidak menafikan kebutuhan ART yang sangat membantu sekali. Ada saatnya kita memang harus dibantu mereka. Seperti saat menunggu HPL anak ketiga, saya bergerilya menemukan orang yang tepat untuk bisa membantu saya di rumah. Punya bayi dan dua balita di rumah sendiri waktu itu, sedang suami rajin keluar kota, saya memang kewalahan.

Setelah anak sudah agak besar seperti sekarang, hanya pekerjaan tertentulah, yang biasanya sudah menumpuk dan tak terurus, dan kondisi kami sudah terjepit, barulah kemudian saya mencari bantuan. Sisanya kami (saya, suami dan anak-anak) saling bahu-bahu mengurusi tempat kami tinggal.

Dalam proses menjadi istri salihah (insya Allah, aamiin) itu, saya menemukan teknis bekerja yang tepat untuk kemudian bisa membuat saya mampu menyelesaikan pekerjaan rumah tanpa menguras waktu yang banyak. Tidak ada istilah 'kerjaan rumah gak kelar-kelar' meski saya punya balita yang mesti diurusi pendidikannya. Saya sedang menjemput ridho Allah tanpa mengabaikan apapun yang menjadi hak siapapun di rumah kami.

Hingga akhirnya Saya punya aturan begini, kalau saya sedang rajin; pekerjaan apapun langgeng saya kerjakan. Tapi kalau sudah malas dan lelah; saya bisa santai seharian meski pekerjaan di rumah minta segera dibereskan, saya tidak khawatir sama sekali. Saya berhasil melepas satu drama ibu-ibu, pantang kalau rumah tak rapi.

Mungkin inilah hikmah tinggal di rumah kontrakan/milik sendiri. Kalau tinggal bersama orangtua/mertua/ipar/siapa saja, mungkin selonjoran diantara tumpukan kertas penuh lem, dengan crayon, cat dan pensil warna yang berserak, tumpahan air minum, dapur bertepung dan cucian menggunung, tidak akan pernah terjadi. Dinding amburadul penuh lukisan ala balita, sprei morat marit, dapur penuh minyak dan semua perkakas keluar dari lemari, pasti menambah daftar biang masalah disana sini.

Untuk berada pada fase ini, sebelumnya saya banyak ditemani banyak orang yang lebih dulu berpengalaman. Mereka bisa saya mintai tipsnya. Ada banyak teman dan buku yang bisa membantu memberi pencerahan, juga ada banyak sumber yang menjadi petunjuk agar tidak mengurangi pahala ibadah berumah tangga. Utamanya ada banyak siroh nabawiyah yang membantu saya menjemput ridho Allah dan suami.

Saya kemudian belajar mengandalkan fitrah muslimah yang Allah titipkan pada saya. Ada potensi unik, multitasking dan giat di sisi perempuan. Ternyata Allah sudah memberikan anugerah luar biasa ini untuk menghadapi hal terkacau yang pernah ada di dalam rumah kita. Bahwa perempuan memang bisa menghadapi banyak drama pekerjaan rumah tangga sekali waktu.

Seperti saat anak sulung saya sakit, saya bisa memasak sambil menggendong anak, meskipun tengah hamil besar. Mesin cuci bisa berjalan sambil menunggu sayur matang. Saat menggoreng ikan bisa disambil menjemur pakaian, walau kali perdana kejadian ikannya malah hangus. Sambil mandi saya bisa menyikat bak, toilet dan kamar mandi. Sambil memutik sayur bisa menghafal Al-Qur'an atau mengajak anak ngobrol soal ulat yang berjalan di batang sawi dan memakan daunnya.

Kadang sambil merapikan kamar dan isi lemari atau memasang sprei, tempat tidur kami menjadi ajang salto, sleding, dan bermain diorama apa saja dengan anak-anak. Yang penting kewarasan mesti tetap ada di tempatnya. Istighfar jadi langganan dan cermin ada di mana-mana. Pekerjaan rumah tangga tidak bisa menjadi alasan ibu padat jadwal dan tak sempat menemani anak, atau menjadikan mereka sebagai pusat keluh kesah dan amarah, setelah ibu lelah bekerja.

Kadang-kadang untuk memenuhi isi kepala dengan kewarasan itu, saat mengawasi anak bermain, saya mojok sambil membaca buku/koran atau kadang menulis. Agar menghemat waktu dan tenaga setiap hari, kalau beberes rumah saya sambil menyortir semua barang agar diletakkan kembali kepada tempatnya. Barang yang tidak terpakai lagi akan saya bagikan atau dibuang, kadang juga diloakkan (dijual ke tukang pengumpul barang bekas) supaya jadi uang yang lumayan beli jajan atau mie ayam semangkok.

Ini saya pelajari dari buku-buku yang paling banyak dipakai mamak-mamak. Semua membantu bagaimana merapikan rumah dan menyederhanakan pekerjaan rumah tangga. Bisa di cari di toko buku, atau pesan via online. Banyak sekali.

Apa hikmah yang saya dapat?

Perempuan yang bergelar ibu rumah tangga, sudah pasti menghabiskan waktunya mengurusi dunia dan akhirat. Akan semakin repot kalau mau adu kualifikasi dengan tugas para lelaki. Setelah saya melakoninya, ternyata perempuan sudah cukup banyak pekerjaan menurut fitrahnya. Dan kadang saya pikir waktu 24 jam itu masih kurang cukup karena untuk mengurus diri sendiri saja masih harus terabaikan. Apa muslimah masih sempat mau adu kekuatan dan kebisaan dengan laki-laki dalam kondisi begini?

Satu kali suami pernah bilang ke saya, "perempuan itu gak ada salah dan gak pernah bisa dikalahkan. Apalagi harus dijadikan saingan. Sulit. Untuk remis (seri) aja berat, apalagi menang.”

Contoh drama kami ini menunjukkan bahwa laki-laki juga belum tentu mau menyaingi perempuan. Banyak lelaki yang menganggap perempuan adalah partner, bagian dari tim dan ahli yang tidak perlu diragukan kemampuannya.

Kita yang "bengkok" ini kadang memang ingin terlihat kuat dan bisa menyaingi laki-laki. Ada sisi ego yang menolak dikatakan lemah. Itu benar. Perempuan memang bukan makhluk lemah, karena Allah memang memberi modal survive, yang menyebabkan perempuan bukan makhluk yang rapuh. Ia adalah jamaahnya laki-laki, perlu dlindungi tapi tidak bisa dilarang berkontribusi. Namun tidak berarti perempuan boleh mengambil kendali penuh atas beberapa lini kehidupan.

Sejatinya fitrah perempuan yang lemah lembut, penyayang, sensitif dan indah seperti rembulan ini, tidak akan mau menyaingi bila tanpa urgensi dan kesempatan. Bahwa kita juga ingin menjadi manusia terbaik. Namun, memahami dunia kita dengan segala kekhasannya juga tidak kalah pentingnya. Dunia membutuhkan perempuan yang berjuang dari rumahnya untuk mencetak generasi yang membangun peradaban Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.

Apakah mereka bekerja atau tidak, perempuan punya PR mendidik anak-anaknya untuk berakhlak mulia. Disinilah letak minusnya ibu zaman sekarang dalam kaca mata saya. Bahwa emansipasi sering mengkandaskan tugas utama ini.

Karena itu, biarlah kita menjalani peran yang berbeda dengan laki-laki, sesuai dengan fitrah kita saja. Asalkan mau menjadi manusia yang paling banyak manfaatnya di muka bumi ini, itu sudah cukup. Kebermanfaatan diri sebagai perempuan jauh lebih penting ketimbang mencuri rupa dan mencari tandingan mengalahkan laki-laki.

Tapi apakah perempuan boleh berperan bersama laki-laki dalam hal urgent?

Kisah sahabiyah seperti Khadijah binti Khuwailid yang menopang ekonomi perjuangan Rasulullah, Nusaybah binti ka'ab, Sumayyah, Khaula, Shafiyyah, mereka tidak terlihat gentar di medan juang. Dari Indonesia ada Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang, Cut Meutia,  dan banyak sekali yang posisinya justru menggantikan laki-laki atau suaminya.

Sebaiknya kita bisa cek dimana kita lebih dibutuhkan, saya pikir sejatinya manusia itu mampu melihat dimana harusnya dia berdiri. Benar kan?

Seperti kebermanfaatan kita dalam pekerjaan rumah tangga layaknya kisah Fatimah ra tadi. Pejuang dari rumah seperti saya dan ibu-ibu lainnya tentu lebih menginginkan pahala yang besar tanpa mau berbagi tiket surga dengan ART. Ya kan?

Anak dan suami tentu jauh lebih berharap kita ada di rumah daripada bekerja. Tapi bagaimana jika tidak ada dokter perempuan, spesialis obgyn yang perempuan, guru di sekolah yang perempuan, tukang pijat yang perempuan, ART yang perempuan dan profesi yang menuntut adanya perempuan?

Disinilah spesifikasi kita. Cermati dan beri ruang pada bagian ini agar kita faham apa maksud Allah dengan memberi kita potensi dan kelebihan.

---------------
TIPS dan TRIK

Nah, ada tips sedikit yang saya share agar sepayah apapun kesulitan pekerjaan rumah tangga yang kita hadapi, tensi dan sasak tidak ikut naik. Hehehe...

Sebelumnya ayo kita mulakan apa yang kita lakukan ini sudah dimulai dengan niat yang suci yaitu menggapai ridho Ilahi.

Pertama, sebisa mungkin - kalau tidak terpaksa - jangan menumpuk pekerjaan rumah, nanti bisa menggunung. Jika hal ini terjadi bukan apa-apa, mata kita yang melihatnya tapi malah "baterai" kita yang lowbet.

Saya pernah kejadian seperti itu. Jangan menyepelekan pekerjaan yang kecil dan sedikit, sekali kita malas, berat kemudian untuk menyelesaikannya kalau sudah menumpuk. Seperti gunung cucian dan setrikaan, pendakian ini sungguh berat.

Kalau hal ini sampai terjadi, mestinya juga jangan sampai menakuti diri dan dunia sejagad raya. Sekalipun aktivitas pekerjaan rumah tangga sudah jadi "gunung" di rumah kita, ketinggiannya tidak sampai mempengaruhi dosa koq, kecuali kalau pekerjaan yang menggunung itu sampai diumpat, digosipkan dan dibawa kemana-mana.

Misalnya, banyak perempuan yang marah-marah karena lelah, lalu masalah perdapuran digeser ke uang belanja, katanya "coba bisa bayar pembantu." Lalu ada yang digeret ke masa lalu, "dulu aku gak pernah repot begini, sekarang sudah mirip babu." Ada juga yang dibawa pada urusan pasutri, "udah capek-capek gini, berkorban mati-matian ngurusin rumah, dianya udah gak peduli." Istri curhat menyalahkan suami yang tidak lagi perhatian. Padahal itu hanya karena urusan pekerjaan rumah tangga. Sensitif bukan main.

Hanya karena pekerjaan rumah tangga yang melelahkan, mestinya kita sadar hal itu bukan masalah besar. Maka penting sekali memotivasi diri bahwa semua pekerjaan rumah tangga itu adalah ibadah, mengerjakannya dengan permulaan bismillah akan menambah jumlah amalan terbaik kita. Inilah bagian dari tips selanjutnya.

Kedua, hadapi dengan keyakinan. Bahwa apapun yang mesti kita kerjakan pasti bernilai ibadah jika dikerjakan karena Allah. Maka itu jangan lupa pakai basmalah dan diakhiri dengan hamdalah.

Saya kalau dongkol sama celana jeans suami dan kemeja putih si sulung, itu pakaian sambil di sikat sambil ngomel begini, "bismillah, semoga pahalanya gede la ini, gue sikat habis lu kotoran yang bandel-bandel, pahala gak akan ketuker ya robb, sanggup-sanggup, Kuat... kuat... semangat...". Terus saja ngomong supaya sebelnya jadi positif, supaya kata-kata yang mesti keluar setiap hari tidak justru terpakai untuk urusan yang tidak benar. Lama-lama tugas juga kelar tidak berasa. Setelah itu minum es teh manis dingin. Baterai bisa penuh lagi.

Ketiga, fahami status pekerjaan rumah tangga yang sedang kita dihadapi. Buat levelnya agar tahu mana yang mesti mendapat prioritas.

Misal, jangan up-date status kalau anak belum rapi dan sarapan belum kelar. Artinya, gadget dan medsos itu statusnya mubah, sedang mengurus anak itu wajib, dan membuat sarapan itu sunnah. Maka dahulukan yang wajib, kemudian sunnah, lalu mubah. Urutannya jadi begini; memandikan anak, membantunya berpakaian, lalu membuat sarapan. Jika sudah selesai, barulah henpon bisa diselancarkan. Begitulah kira-kira levelnya. Status buatan ini akan membantu kita mendahulukan pekerjaan mana yang lebih dahulu diutamakan.

Keempat, hindari menyimpan barang-barang yang sudah tidak lagi dipergunakan. Pilah dan pilih secara bertahap, agar rumah kita lebih rapi dan lemari kita tidak sesak nafas. Boleh disimpan kalau untuk diwariskan karena terlalu sayang.

Misalnya baju si abang yang ori dari luar negeri, boleh disimpan supaya nanti bisa dipakai oleh si adik. Jual stroler atau baby walker yang sudah tak mungkin terpakai, jika ada sepeda roda tiga yang tak lagi berguna, juga boleh dijual saja. Barang bekas bayi yang sudah menghuni gudang cukup lama promosikan ke pasar barang bekas online/offline, bila perlu berikan kepada teman/kerabat yang membutuhkan. Ingatlah rezeki kita sudah di atur, kalau sudah ditentukan milik kita nanti juga akan bisa dibeli/dihadiahi teman lagi.

Saya belajar metode konmari dari buku dan kuliah whatsapp beberapa kali. Hasilnya saya mengerti mana yang mesti kita pakai, kita simpan dan mesti kita rapikan.

Kelima, pastikan semua barang selalu berada di tempatnya. Ajarkan semua anggota keluarga melakukan demikian, sehingga masa menyapu dan mengepel lantai tidak menghabiskan banyak tenaga dan waktu. Kadang pekerjaan ini seperti membedah rumah. Sangkin semraut dan berantakannya, setiap beberes rumah jadi sangat melelahkan.

Coba terapkan ke anak-anak sejak dini, saya pun masih terus berproses. InsyaAllah, hal ini juga memudahkan kita dalam berbagai urusan mencari barang. Tidak hanya kita yang dimudahkan, namun suami dan anak-anak juga.

Demikian tips ini saya bagikan, semua beranjak dari pengalaman diri mengais ridho ilahi. Saya peroleh dari berbagai sumber dan saya renungi di sudut hati. Semoga bermanfaat. Ana uhibukum lillah ta'ala.

#ummuzaid


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukan Seperti yang Kamu Pikir

Sabun Cuci Muka Berjerawat

Sabun Ummuzaid